A.
Pengertian
Tindakan Tegas yang Mendidik
Tindakan tegas yang mendidik adalah upaya guru untuk mengubah tingkah
laku anak didik yang kurang dikehendaki melalui penyadaran anak didik atas
kekeliruannya dengan tetap menjujung kemanusiaan anak didik serta tetap menjaga
hubungan baik antara peserta didik dan guru. Dengan tindakan tegas yang
mendidik ini, tindakan yang menghukum yang menimbulkan suasana negatif pada
diri anak dihindarkan. Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik
tidak selayaknya diabaikan atu dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani
atau diberikan tindakan tegas secara proporsional.[1]
Menurut Wens Tanlain, tindakan tegas mendidik dapat berupa teguran
dan hukuman.Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku yang tidak sesuai
dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan anak didik dari
tingkah laku yang kurang tepat serta akibatnya. Sedangkan Hukuman adalah alat
pendidikan yang diberikan kepada siswa karena melakukan kesalahan, agar siswa
tidak lagi melakukannya.
Tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau
kesalahan, perlu dilaksanakan dengan pendekatan yang bermuatan pendidikan agar
dapat mendorong si pelanggar untuk menyadari kesalahannya dan memiliki komitmen
untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan itu tidak terulang
lagi. Penggunaan tindakan tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap
menyuburkan kasih sayang, dapat menyadarkan siswa akan kesalahannya,
mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi
pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru,
sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.
B.
Pengertian
Hukuman
Hukuman adalah akibat atau buah dari kesalahan yang dilakukan oleh
seseorang baik kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja, baik kesalahan
besar maupun kecil. Kesalahan itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang
mengacu kepada nilai, norma, moral, dan tata aturan adat, agama, hukum positif,
ilmu, dan kebiasaan sehari-hari. Hukuman adalah sebuah cara untuk mengarahkan
tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang berlaku secara umum (sanksi
fisik maupun psikis). Hukuman mengajarkan tentang apa yang tidak boleh
dilakukan.Dampak hukuman pada trauma anak cukup besar. Guru yang tidak selektif
memberikan hukuman bisa berdampak panjang bagi siswa.[2]
C.
Jenis – Jenis
Hukuman
Pada dasarnya hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik.
Maksudnya, dengan adanya hukuman siswa menjadi tahu dan faham tentang kesalahan
yang dilakukannya. Jenis hukuman ada dua, yaitu: Hukuman langsung dan Hukuman
tidak langsung. Hukuman langsung merupakan tindakan yang langsung diberikan
kepada siswa setelah memunculkan perilaku negatif, sedangkan Hukuman tidak
langsung merupakan hukuman yang tidak secara langsung diarahkan sebagai bentuk
hukuman kepada siswa, tetapi lebih bersifat sindiran, bahan renungan, dan
sumber pelajaran bagi siswa.[3]
D. Prosedur Pemberian Hukuman
Hukuman pada kondisi tertentu juga harus di berikan sehingga siswa
merasa ada hal yang perlu di takuti dan di pertimbangkan lagi sebelum lebih
jauh memutuskan melakukan kesalahan. Bukan berarti kita bisa menghukum semau
kita tanpa ada aturan dan mekanisme kendali yang efektif, melainkan harus
melalui prosedur standar sebagai berikut:
a.
Jenis hukuman
yang diberikan perlu disepakati di awal bersama siswa.
b.
Jenis hukuman
yang diberikan harus jelas sehingga siswa dapat memahami dengan baik
konsekuensi kesalahan yang ia lakukan.
c.
Hukuman harus
dapat terukur sejauh mana efektifitas dan keberhasilannya dalam mengubah
perilaku siswa.
d.
Hukuman tidak
berlaku jika ada stimulus diluar control. Artinya, siswa melakukan kesalahan
karena sesuatu yang ia tidak ketahui sebelumnya dan atau belum disepakati dan
belum dipublikasikan da awal.
e.
Hukuman
dilaksanakan secara konsisten karena jika siswa menangkap ada jeda dan ruang
kosong dari pemberian hukuman, hal itu akan melenakan siswa untuk kemudian
memunculkan perilaku yang tidak diinginkan lagi.
Hukuman
segera diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. Sebab, penundaan
memberi hukuman akan berakibat pada hilangnya tujuan pemberian hukuman.[4]
E. Hukuman yang Bersifat Positif
Apapun
bentuk hukuman yang diberikan pada siswa sebaiknya bersifat psitif sehingga
hasilnya pun berbuah positif pada siswa. Sebab, jika hukuman berlandaskan pada hal-hal
negative, bukan tidak mungkin akan menimbulkan hal negative pula, adapun
hukuman-hukuman yang bersifat psitif antara lain:
a.
Hukuman Tidak
Membuat Trauma
Hukuman
yang baik adalah hukuman yang tidak membuat siswa trauma dengan apa yang ia
terima . sebab, banyak hukuman yang tanpa sadar akan berdampak trauma psikis
berkepanjangan pada siswa. Selain dampak trauma juga akan muncul dampak dendam
berkepanjangan pada diri siswa karena pilihan hukuman yang tidak tepat
diberikan guru kepadanya.
Hukuman
yang beresiko trauma ini biasanya bersifat publis (dilakukan dihadapan orang
banyak), menyakiti, membuat malu, dan memberikan tekanan pada siswa.
b.
Hukuman Tidak
Membuat Sakit Hati
Hukuman
yang menyakitkan biasanya akan berdampak pada sakit hati siswa berkrpanjangan.
Suatu contoh yang membantu kita memahami hal ini adalah pada kisah seorang
siswa yang hingga sepuluh tahun masih memendam dendam dan benci pada sosok guru
yang telah memberikan hukuman “menyakitkan” pada dirinya.
Sebut
saja si A , hingga kini, setelah lebih dari 10 tahun berjalan si A masih
memendam benci pada guru yang telah memukul bagian wajahnya tanpa ampun, hanya
gara-gara ia mengenakan seragam sekolah yang “mungkin” bagi si guru tidak
sopan. Akibat pukulan tersebut, si A masih menyimpan rasa benci pada sang guru
hingga saat ini.
c.
Hukuman
Memberikan Efek Jera
Efek jera tidak selalu bersifat
negatif. Efek jera ini bisa saja hukuman positif, tetapi ia adalah hal
yang tidak disukai oleh siswa untuk dijalankan sehingga siswa merasa lelah
menjalaninya. Efek jera bisa muncul jika
hukuman yang diberika bersifat menekan dan siswa sangat tidak nyaman berada
dalam posisi “terhukum”.
d. Hukuman Bersifat Pembelajaran
Hukuman sebaiknya bersifat pembelajaran
yang berarti ada nuansa belajar dalam setiap kebijakan hukuman yang diberikan
guru kepada siswanya. Dengan demikian, sekali mendayung dua tiga pulau
terlewati.[5]
F. Tindakan Tegas dan Pendidikan
Seperti yang dikemukakan oleh
Prayitno (2008:169), ada lima hal yang menjadi pegangan dalam melaksanakan
tindakan tegas mendidik, yakni:
1. Peserta didik menyadari akan kesalahan.
Bahwa tindakan tegas yang mendidik yang diberikan guru hendaknya memberikan kesadaran
terhadap siswa sehingga siswa tersebut tidak mengulang kesalahan yang sama
untuk kedua kalinya, namun tindakan menyadarkan tersebut tetap menjujung harkat
dan martabat manusia serta menghormati keberadaan siswa tersebut sebagai
peserta didik.
2. Penghormatan dan pengakuan. Siswa yang
melanggar peraturan sekolah diberikan tindakan tegas yang mendidik agar siswa
dapat diakui dan dihormati keberadaanya. Guru memberikan penghargaan,
penghormatan dan pengakuan kepada peserta didik agar peserta didik merasa
nyaman dengan berjalannya suatu tindakan, berani mengemukakan segala
masalahnya, maka timbul pula keinginan bahwa dirinya berhak untuk mengambil
keputusan bagi diri sendiri.
3. Kasih saying dan kelembutan. Dalam
memberikan tindakan tegas yang mendidik yang diberikan kepada guru MI hendaknya
tidak dilator belakangi oleh kekuasaan, melainkan dengan perasaan kasih saying,
kelembutan serta tulus dan terbuka, sehingga siswa juga dengan suka rela
menerima tindakan mendidik yang diberikan guru MI yang berujung pada
terjalinnya hubungan harmonis antara keduanya.
4. Membentuk komitmen positif. Komitmen
merupakan hasil proses internalisasi pada diri peserta didik melalui tindakan
tegas pendidikan yang dilakukan pendidik. Dengan demikian pembentukan komitmen
ini adalah tujuan akhir dari tindakan tegas mendidik dalam mengatasi siswa yang
melanggar. Siswa yang telah terbentuk komitmen positif dalam dirinya setelah
diberikan tindakan tegas oleh guru semestinya tidak mengulangi kesalahan pada
tempat yang sama maupun ditempat lain, yang artinya siswa bersungguh-sungguh
untuk merubah perilakunya.
5. Hubungan yang harmonis. Setelah guru
memberikan tindakan tegas yang mendidik, hendaknya hubungan antara peserta
didik dan pendidik tetaplah harmonis. Peserta didik tidak merasa trauma, tidak
merasa sakit hati, memberikan efek jera serta bersifat pembelajaran.[6]